Komisariat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Migas memperingati Hari Tani Nasional yang jatuh pada tanggal 24 September 2025 dengan menyampaikan refleksi kritis atas realitas agraria hari ini. Kegiatan ini merupakan bagian dari konsolidasi ideologis sekaligus penguatan posisi perjuangan GMNI dalam membela kaum marhaen, khususnya petani, yang selama ini menjadi tulang punggung bangsa namun justru terus mengalami ketidakadilan struktural.
Dalam refleksi yang disampaikan, GMNI Migas menegaskan bahwa Hari Tani Nasional bukanlah sekadar seremoni tahunan, tetapi momentum penting untuk menegaskan kembali garis ideologis organisasi terhadap persoalan agraria nasional.
Sejak ditetapkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960 oleh Bung Karno sebagai dasar hukum reforma agraria sejati, cita-cita untuk mengembalikan tanah kepada rakyat telah lama diperjuangkan. Namun hingga hari ini, kondisi di lapangan justru menunjukkan kenyataan yang kontras. Petani masih kesulitan mengakses tanah, menjadi korban penggusuran, dan terus kehilangan ruang hidup akibat ekspansi modal dan proyek-proyek pembangunan yang tidak berpihak kepada rakyat kecil.
Dalam keterangannya, Ardiansyah selaku kader GMNI Migas dan anak dari keluarga petani menyampaikan bahwa refleksi Hari Tani Nasional tahun ini harus menjadi cambuk kesadaran bagi seluruh elemen gerakan mahasiswa, bahwa perjuangan agraria adalah perjuangan ideologis yang menyangkut harkat dan martabat rakyat.
“Sebagai anak petani, saya tahu betul bahwa tanah bukan hanya media untuk bertani atau bekerja. Ia adalah kehidupan, identitas, bahkan kehormatan. Tapi kenyataannya hari ini, tanah petani terus diambil, dan yang menikmati hasil pembangunan bukan mereka. Ini bukan sekadar masalah ekonomi, ini adalah penghilangan hak dasar rakyat,” jelas Bung Ardiansyah.
Lebih lanjut, Bung Ardiansyah menambahkan bahwa mahasiswa tidak boleh berdiri di tengah ketika tanah rakyat dirampas atas nama investasi. Menurutnya, pembangunan sejati adalah pembangunan yang berpihak dan melibatkan rakyat, bukan pembangunan yang menggusur dan mengabaikan suara petani.
“Kami bukan anti pembangunan, tapi kami menolak pembangunan yang menjadikan rakyat sebagai korban. Jika hari ini petani terus kehilangan tanahnya, maka masa depan bangsa juga ikut terancam. Tanpa keadilan agraria, tidak akan pernah ada keadilan sosial,” tegasnya.
Data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2024, terjadi 295 konflik agraria dengan total luas lahan yang disengketakan mencapai lebih dari 1,1 juta hektar, berdampak pada lebih dari 67.000 keluarga petani. Konflik terbesar terjadi di sektor perkebunan, kehutanan, tambang, dan proyek infrastruktur, termasuk proyek strategis nasional (PSN) yang selama empat tahun terakhir telah menggusur puluhan ribu keluarga petani dari lahan mereka.
GMNI Migas memandang bahwa kondisi ini merupakan bentuk nyata dari ketimpangan struktural yang sudah berlangsung lama. Negara tidak seharusnya berpihak kepada pemilik modal dan mengabaikan tanggung jawabnya terhadap rakyat. Rakyat adalah pemilik sah tanah dan sumber daya alam, sebagaimana diamanatkan konstitusi.
Dengan peringatan Hari Tani Nasional 2025 ini, GMNI menegaskan bahwa perjuangan agraria adalah bagian tak terpisahkan dari perjuangan ideologis Marhaenisme. Perjuangan yang dilakukan GMNI tidak hanya mencetak pemimpin masa depan, tetapi juga pejuang yang siap berdiri di barisan rakyat untuk membebaskan bangsa dari belenggu penindasan agraria.
“Kita tidak boleh lupa bahwa Bung Karno meletakkan dasar negara ini di atas penderitaan kaum marhaen, termasuk petani. Maka tugas kita sebagai kader GMNI adalah memastikan bahwa tanah kembali menjadi milik rakyat, bukan dikuasai segelintir orang yang menjadikannya alat untuk mencari keuntungan sendiri,” tutup Bung Ardiansyah.
GMNI Migas berkomitmen untuk terus berada di garda terdepan dalam memperjuangkan reforma agraria sejati dan melawan segala bentuk ketimpangan yang mengancam kedaulatan rakyat atas tanah. Bagi GMNI, selama tanah masih menjadi alat kekuasaan yang merugikan, maka perjuangan belum selesai.