Opini-Pernyataan Presiden yang menetapkan Ibu Kota Nusantara (IKN) sebagai Ibu Kota Politik pada tahun 2028 melalui Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2025 memunculkan tanda tanya serius. Pasalnya, istilah “Ibu Kota Politik” sama sekali tidak ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN).
Perbedaan terminologi ini bukan sekadar soal istilah, melainkan menimbulkan keraguan mengenai konsistensi arah kebijakan nasional serta memicu perdebatan tentang kepastian hukum dan visi negara dalam menakhodai proyek strategis IKN.. Menurut Penulis “perbedaan istilah ini bukan sekadar teknis, melainkan bentuk inkonsistensi serius yang dapat merusak legitimasi hukum pembangunan IKN”. Secara hierarki, Undang-Undang menempati posisi lebih tinggi daripada Peraturan Presiden. UU IKN secara tegas menyebutkan fungsi IKN sebagai pusat pemerintahan, namun tidak ada frasa “Ibu Kota Politik.” Dengan demikian, lahirnya istilah baru dalam Perpres justru menimbulkan potensi ultra vires—yakni pemerintah bertindak melampaui kewenangannya.
Menurut Penulis, “praktik seperti ini berbahaya karena memperlihatkan kecenderungan eksekutif menggunakan regulasi turunan untuk mengubah substansi undang-undang, yang pada akhirnya melemahkan supremasi hukum.” Apalagi, menurut UU No. 12 Tahun 2011 jo. UU No. 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, secara tegas disebutkan bahwa Peraturan Presiden tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang. Hal ini memperkuat argumentasi bahwa penggunaan istilah baru “Ibu Kota Politik” berpotensi menyalahi hierarki hukum yang berlaku.
Pasal 39 (1) UU No. 3 Tahun 2022 tentang IKN menyebutkan perpindahan ibu kota negara diwujudkan dengan penerbitan Keputusan Presiden tentang pemindahan ibu kota negara. Artinya, segala perubahan status fundamental seharusnya berdasar pada mandat undang-undang atau keputusan presiden yang tegas, bukan sekadar penambahan istilah dalam Perpres. Jika jalur hukum ini diabaikan, maka asas kepastian hukum sebagaimana dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 akan terciderai. Kepastian hukum adalah fondasi kepercayaan publik; jika fondasi ini runtuh, legitimasi pembangunan IKN pun rapuh.
Menurut Penulis, “apabila fondasi dasar kepercayaan publik itu diabaikan, maka IKN hanya akan menjadi proyek raksasa tanpa legitimasi kuat.” Dalam kerangka teori Hans Kelsen, norma hukum harus diturunkan secara berlapis dan konsisten dari norma tertinggi (Grundnorm). Artinya, Perpres tidak boleh melampaui atau menambah substansi yang tidak ada dalam UU. Begitu pula, teori tujuan hukum Gustav Radbruch mengingatkan bahwa hukum seharusnya menjaga tiga nilai fundamental: keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Pertanyaannya: Apakah istilah “Ibu Kota Politik” memberikan kemanfaatan nyata bagi masyarakat? Apakah istilah ini adil bagi warga Jakarta yang akan kehilangan status ibu kota serta warga Kalimantan yang terdampak langsung pembangunan? Apakah kebijakan ini justru menurunkan kepastian hukum karena tidak sejalan dengan undang-undang? Menurut Penulis, “jawabannya condong pada sisi negatif: istilah ini justru menimbulkan ketidakpastian dan berpotensi melahirkan ketidakadilan sosial antara warga yang kehilangan dan warga yang terdampak langsung.” Bahkan, jika dilihat dari perspektif Roscoe Pound, hukum seharusnya menjadi sarana rekayasa sosial (law as a tool of social engineering). Namun, istilah “Ibu Kota Politik” tidak memberi rekayasa sosial yang jelas, melainkan sekadar jargon politik tanpa arah implementasi.
Selain itu, penulis ingin menegaskan bahwa produk hukum tidak lepas dari agenda politik. Penetapan “Ibu Kota Politik” dapat dipandang sebagai langkah simbolis yang sarat muatan politik identitas, alih-alih rasionalitas hukum. Dalam konteks ini, publik wajar mempertanyakan apakah keputusan tersebut lahir dari kebutuhan objektif tata kelola pemerintahan, atau sekadar strategi simbolik untuk melegitimasi proyek IKN.
Menurut Penulis, “sikap Presiden dalam hal ini menunjukkan inkonsistensi kepemimpinan: terlalu mudah mengganti istilah tanpa memperhatikan konsekuensi hukum dan sosial yang akan ditanggung generasi mendatang.” Jika kita membandingkan dengan negara lain, seperti Brasil yang memindahkan ibu kotanya ke Brasília, atau Malaysia dengan Putrajaya, keduanya tegas menyebut istilah capital atau pusat administratif, bukan “ibu kota politik” yang multitafsir. Perbandingan ini menunjukkan bahwa Indonesia justru menciptakan istilah baru tanpa rujukan yang jelas dalam praktik internasional.
Kebijakan IKN sejak awal sudah dipromosikan sebagai kota masa depan Indonesia dengan visi modern, hijau, dan berkelanjutan. Namun, penyebutan baru sebagai “Ibu Kota Politik” justru mengaburkan arah pembangunan. Istilah ini tidak hanya tidak dikenal dalam perundang-undangan, tetapi juga membuka ruang tafsir ganda: apakah sekadar pusat pemerintahan eksekutif, atau juga mencakup legislatif dan yudikatif? Menurut Penulis, “ambiguitas ini menggerogoti kredibilitas proyek IKN, karena publik melihat pemerintah lebih sibuk mengutak-atik jargon daripada membangun substansi.” Apalagi, menurut data Kementerian Keuangan, total kebutuhan anggaran pembangunan IKN mencapai lebih dari Rp 466 triliun, sementara survei Indikator Politik Indonesia pada 2023 menunjukkan mayoritas publik masih ragu dan menolak pemindahan ibu kota. Artinya, alih-alih membangun kepercayaan, jargon baru justru memperlebar jurang skeptisisme publik. Jika istilah “Ibu Kota Politik” ditafsirkan secara menyeluruh, maka implikasinya adalah pemindahan tidak hanya eksekutif, tetapi juga legislatif dan yudikatif. Hal ini berarti biaya transisi kelembagaan yang jauh lebih besar, serta potensi terganggunya pelayanan publik.
Belum lagi, masyarakat Jakarta akan menghadapi perubahan identitas kota, sementara masyarakat lokal Kalimantan berhadapan dengan dampak lingkungan, sosial, dan ekonomi yang belum sepenuhnya diantisipasi. Menurut Penulis, “risiko ini menunjukkan pemerintah belum benar-benar siap menghadapi konsekuensi institusional maupun sosial dari kebijakan tersebut, sehingga istilah baru ini lebih menyerupai manuver politik ketimbang rencana matang.” Karena itu, seharusnya Presiden menempuh jalur revisi UU IKN secara formal jika ingin menambahkan fungsi baru, bukan sekadar mengandalkan Perpres. Dengan begitu, kebijakan tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga memiliki legitimasi politik yang kuat.
Lebih jauh, penetapan IKN sebagai “Ibu Kota Politik” pada tahun 2028 menimbulkan kecurigaan publik bahwa istilah ini sengaja dirancang untuk kepentingan politik praktis menjelang Pemilu 2029. Alih-alih memperkuat visi jangka panjang, istilah ini bisa dipersepsikan sebagai upaya simbolik untuk membangun narasi politik penguasa. Di titik ini, IKN kehilangan sifatnya sebagai proyek kebangsaan dan berubah menjadi arena politik elektoral. Dengan kata lain, jargon “Ibu Kota Politik” justru membebani legitimasi IKN dengan kepentingan jangka pendek.
Pada akhirnya, pemindahan ibu kota bukan hanya soal beton, gedung, dan infrastruktur, tetapi soal konsistensi hukum dan visi politik negara. Jika pemerintah gagal menjaga kepastian hukum dan konsistensi arah kebijakan, maka IKN hanya akan menjadi monumen inkonsistensi, bukan simbol masa depan bangsa. Inilah titik kritis di mana bangsa harus menuntut kejelasan: apakah IKN sungguh-sungguh menjadi proyek kebangsaan jangka panjang, atau sekadar alat legitimasi politik jangka pendek. Jawabannya akan menentukan apakah IKN tercatat dalam sejarah sebagai warisan kebangsaan, atau justru sebagai simbol inkonsistensi.